By:
@Choppucino
“ingat harapan orang
tua”
“biar ndak molor, biar
cepet lulus”
“biar bisa dapet kerja
enak” dst. . . .
Tak
perlu muluk-muluk membahas tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang
esensinya adalah memanusiakan manusia (humanisasi) atau untuk mempertajam
kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan seperti kata tan
malaka. Berapa banyak dari kita yang mendengar atau bahkan mengatakan sendiri kutipan pragmatis diatas? Ya,
kutipan seperti itu memang sangat relistis sih buat mahasiswa seperti kita yang
kebanyakan masih social climber dan ekonomi masih cukup pas-pasan. Boro-boro
mikirin pengab
dian atau mencipta penemuan buat banyak orang, buat hidup sendiri yang nantinya akan direpotkan oleh cicilan kendaraan dan susu bayi yang harganya tidak jauh beda dengan susu penguat tulang saja kita sudah bingung.
dian atau mencipta penemuan buat banyak orang, buat hidup sendiri yang nantinya akan direpotkan oleh cicilan kendaraan dan susu bayi yang harganya tidak jauh beda dengan susu penguat tulang saja kita sudah bingung.
Bukan
hal yang mengherankan jika hari ini kita mempersiapkan senjata buat
mengarungi
hidup di masa depan yang tak tentu arah nantinya. Anggapan bahwa pendidikan
adalah salah satu cara mobilitas vertical yang ampuh, membuat banyak orang
berlomba-lomba menggapai pendidikan tinggi serta mengoleksi ijazah dan berharap
hal itu berguna sebagai jimat pengasihan
untuk hidup yang lebih mapan. Masalah pendidikannya berguna nyata bagi orang
banyak atau berdampak positif itu hal
lain yang dipikir belakangan. Yang penting perut kita tetap terisi, dapur tetap
ngebul, syukur-syukur jika dapat bonus gengsi dari pendidikan itu, sehingga
kita bisa angkat kepala dan busungkan dada jika bertemu teman-teman masa kecil
di desa.
Namun
hal yang tidak kita sadari adalah bahwa dunia ini semakin dinamis dan akan
terasa semakin sempit. Dengan gelar S.Pd saja kita sudah bisa jadi konsultan
pendidikan pak lurah atau pak carik di kampung kita. Tentunya itu jika kita
hidup 20 tahun yang lalu. Namun saat angin tak terlihat yang bernama
globalisasi itu berhembus semakin kencang sampai merambah daerah terpencil, dan
burung besi yang ditemukan orville dan Wilbur wright semakin aktif
mondar-mandir di angkasa mengantar produk-produk Negara lain nun jauh disana,
inilah saat dimana orang tidak lagi bertanya what do you have?, tapi what
can you do?
Tumpukan serta jajaran ijazah dan
sertifikat akan sangat indah jika terjajar di lemari kita nantinya. Itu kalau
kita dibayar hanya untuk memandang. Namun jika kita harus memutar otak mengatur
hidup yang masih ruwat dan masih menjadi social climber serta berharap memiliki
pemasukan lebih buat ber-weekend ria bersama sanak keluarga ke pulau terpencil
nan eksotis di akhir pekan, barulah kita sadar bahwa banyak dari kita have many things but can’t do anything. Dan
pada saat itulah mungkin kita merapal mantra seandainya seandainya seandainya.
Dunia memang bergerak sangat cepat,
bahkan geraknya lebih cepat dari mahasiswi genit yang berjalan dari parkiran
fakultas menuju ruang kelas perkuliahan. Jika dahulu S1 saja sudah cukup, maka
sekarang orang –orang berlomba mencapai S2 S3. Tanpa mereka sadari paman sam sudah memiliki warga Negara
yang berorientasi pada penemuan dan pengabdian seutuhnya. Hasilnya lebih jelas,
Iphone, Microsoft sampai gaya hidup hipster pun yang dipopulerkan oleh Janis
Joplin ratu hipster sejagat konon kabarnya tak tamat bangku kuliah. Sekali
lagi, tulisan ini bukanlah propaganda atau ajakan untuk mengesampingkan
perkuliahan atau mencari massa untuk DO. Namun sekadar mengajak bercuap-cuap
tak jelas masalah tujuan kita menggapai pendidikan.
Minimnya pandangan hidup dan sempitnya
pergaulan mungkin menjadi salah satu faktor
kita mengagungkan pengakuan. Beranggapan bahwa hidup akan lebih baik dan
masalah akan selesai dengan tumpukan ijazah dan sertifikat saja, mirip-mirip
dengan mbakyu-mbakyu berjubah yang berteriak apapun masalahnya, khilafah solusinya di depan kampus pada pagi
hari. Beruntungnya penulis jarang kuliah pagi. Sehingga terbebas dari ancaman
rajam karena mungkin kendaraan bermotor dan pomade rambut adalah bid’ah bagi
mbak-mbak tersebut. Ehh maaf, mbak-mbaknya lebih senang dipanggil ukhti
daripada mbak.
Yang juga menjadi factor lain dari
sempitnya kita memaknai pendidikan kita sendiri adalah hal-hal yang diturunkan
pada kita. Sulit dihitung berapa kali pendidik mengatakan dan mengarahkan kita
untuk jadi pegawai negeri. Lantaran jadi guru PNS sangat nyaman, ditambah dengan
sertifikasi yang lumayan. Sehingga di kalangan rekan-rekan muncul alur
pemikiran untuk segera tuntas kuliah dan menjadi guru yang terjamin. Namun
untuk menjadi guru pun masih harus menghadapi persaingan, jika tidak punya uang
pelican maka harus terima nasib untuk menempuh jalan berputar ikut SM3T supaya
gratis PPG. Jika dipersingkat maka, kuliah, lulus, SM3T, PPG, PNS. Bahkan
program yang terlihat seolah pengabdian pun sengaja dilakoni untuk memuluskan
rencana pribadi. Bagaimana jika mengajar di pelosok tanpa ada jaminan gratis
PPG? Mungkin tidak seantusias dan sebanyak saat ini peminatnya. Mengutip
perkataan pramoedya ananta “keinginan
menjadi pegawai negri adalah alasan korupsi sulit diberantas. Pegawai negri
sudah bertumpuk-tumpuk, dan pendidikan yang membentuk itu semua”
Dari hal diatas, maka tidak heran jika
kita mengesampingkan tujuan mulia pendidikan seperti memanusiakan manusia,
bermanfaat bagi orang lain, mencipta sesuatu ataupun hal paling sederhana
seperti menjadi orang baik. Sekolah dan kampus kita lebih mirip pabrik yang
mencetak orang-orang dengan jimat bernama ijazah yang melegalkan orang tersebut
melakukan sesuatu sesuai bidang keilmuannya, namun belum tentu layak
melakukannya. Pendidik tidak mengarahkan kita mencipta sesuatu yang membuat
kita berdikari, namun mengarahkan kita mengikuti arus dan alur yang sudah
disediakan. Kita harus lebih terbuka, lebih luas dalam memandang dan lebih
dalam saat berencana. Penulis sendiri bukanlah filsuf ataupun manusia yang ahli
dalam kehidupan. Penulis hanya mahasiswa juga yang terkadang tidak lepas juga
dari sifat pragmatis. Penulis hanyalah pelamun, yang gemar menggelar tikar di
taman kampus dan mencoba belajar dari bangku kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.